Kisah Nyata: Perjuangan Nikah Muda
Daftar Isi
kontenislam.com - Dulu aku berpikir bahwa aku akan menikah pada usia 28 th. Namun kemudian aku bayangkan, jika aku menikah di usia 28 berarti aku akan punya anak di usia 30. Lalu anak ke dua di usia 33 tahun. Artinya pada usia 50-60 tahun aku masih harus bekerja keras utk membiayai kuliah anakku nanti.
Seseorang mencapai puncak dari pekerjaan yg ditekuninya biasanya di usia 40-50th. Usia setelah 50 th adalah usia pensiun. Jadi, aku harus menikah sebelum usia 28 tahun. Perjuangan membiayai anak kuliah tentu akan lebih berat daripada perjuangan menikah muda.
Memasuki bangku perkuliahan, aku mulai belajar berbisnis. Saat itu usiaku 19 tahun, baru saja untuk pertama kalinya membaca “Rich Dad, Poor Dad”-nya Robert Kiyosaki. Buku itu mengubahku. Bisnis sambil kuliah tampaknya menarik, aku memutuskan untuk mencobanya, dan yg pertama kali kulakukan adalah “ternak ikan bawal”.
Waktu itu aku sampai pindah kos di dekat kolam bawal. Aku menyewa sebuah tambak dan membeli bibit ikan. Nanti kalau ikan sudah besar, bisa dijual di warung-warung yang biasa menjual seafood. Kata orang yang sukses di bisnis ini, dalam setengah tahun pendapatan kita bisa berlipat kali.
Tapi entah kenapa, mungkin karena di sambi skripsi, setelah jalan sekitar 5bulan, ikan-ikan Bawal-ku tidak juga tumbuh besar seperti perkiraan. Nilai jualnya turun. Jadi aku rugi. Kalau tidak salah modal 1jt dan saat di jual hanya laku 500rb.
Bisnis ke-2 adalah jualan pulsa. Tepat setelah skripsi selesai, sambil menunggu kelulusan aku iseng berjualan pulsa kecil2an. Aku sampai membuka konter di pinggir stadion Mandala Krida. Lumayan laris, namun, namanya bisnis pulsa, untungnya terlalu kecil.
Nikah muda penuh perjuanganSelulus kuliah S1, aku melanjutkan ke program S2. Selain berbisnis pulsa, aku juga mulai menjadi dosen di salah satu universitas. Saat itulah, aku memutuskan untuk menikah. Perjuangan menikah muda dimulai disini. Aku menikah di usia 24 tahun, istriku saat itu berusia 22 tahun. Istriku baru saja lulus kuliah D-III ekonomi. Dia berasal dari Kebumen, Jawa Tengah.
Setelah menikah, kami mengontrak sebuah rumah di pinggiran kota. Sembari berbisnis pulsa, mengajar dan kuliah, aku mulai memikirkan prospek bisnis baru demi memberi istriku nafkah. perjuangan menikah muda memang tak mudah.
Bisnisku yang ketiga adalah burger. Aku membeli satu gerobak burger dari franchise Edam Burger. Aku berjualan sendiri di pinggir stadion, tepat di samping kios pulsaku.
Berbisnis membuatku tidak bisa fokus kuliah. Seiring semangat berbisnisku yang kian besar, semangat kuliahku justru makin pudar. Semester ke-3 mulai tidak disiplin kuliah. semester 4 sudah hampir tidak pernah datang. Perhatianku masih fokus untuk mendapatkan penghasilan dari berjualan burger.
Saat aku meninggalkan begitu saja program S2 ku di IRB Sanata Dharma, aku begitu yakin Edam Burger akan sukses besar kalau aku fokus. Mengajar dan menjadi dosen bukan lagi pilihan karena aku terbukti merasa sangat tidak nyaman setelah setengah semester mengajar Pacasila dan Kewarganegaraan. Mungkin aku tidak menguasai materinya, mungkin aku lebih suka bercerita dari pada memberikan materi.
Hanya tiga pertemuan pertama aku tampil memukau. Mahasiswaku melongo mendengar kuliahku dan mereka sangat mengapresiasi apa yang kusampaikan. Sesi tanya jawab jadi ramai bahkan sampai wktu kuliah habis pun masih berlanjut. –Tapi pertemuan2 berikutnya aku kehabisan materi. Terjebak dalam labirin, kehabisan fuel dan akhirnya hanya bisa mengikuti teks book, sama seperti dosen-dosen lain. Membosankan. Aku benci dosen membosankan dan aku tidak ingn menjadi dosen membosankan.
Makanya, aku lebih fokus pada bisnis burgerku. Sayangnya, Edam burger berjalan di tempat. Aku sempat membuka cabang ke-2 tapi tidak sesuai harapanku. Kami punya 1 karyawan tapi kehidupan kami pun tidak lebih baik dari karyawan kami. Bisnisku berjalan di tempat selama kira-kira satu tahun.
Kalau kupikir lagi soal perjuangan menikah muda dulu, aku sering merenung. Dulu kenapa ya, Burger tidak laris? Aku berjualan burger tahun 2007 di 2 tempat di Jogja. Tidak laris jadi selalu berpindah pindah. Mungkin ada 3-4kali berpindah. Tapi kenapa ya bisa tidak laris..?
Pertanyaan itu sempat menggangguku cukup lama, sampai aku menyadari bahwa jarang sekali ada burger kaki lima yang laris. Usaha berjualan burger kaki lima yang kulihat ‘cukup’ diminati pembeli hanya yang berada di tempat dengan sewa booth sangat mahal. Ditambah tampilan stand yang harus menarik dan itu menjadikannya sangat mahal.
Sampai sekarang ini, ada berapa ya usaha burger kaki lima yang bertahan? Berapa lama mereka bertahan? Sampai sekarang aku selalu bertanya tanya kapan sebuah bisnis layak untuk dipertahankan atau sudah saatnya ditinggalkan. Saat itu, untuk sementara aku memilih bertahan.
Dan sementara kami bertahan… anak pertamaku mulai mengabarkan kedatangannya. Ya, istriku hamil. Aku bahagia. Ada kisah mengharukan ketika kehamilan istriku. Sebagaimana laiknya wanita hamil, istriku merasakan ngidam. Waktu itu dia ingin makan apel merah. Harganya cukup mahal untukku. Karena saat itu bisnisku jalan di tempat, aku tidak memiliki banyak uang. Akhirnya demi memenuhi ngidamnya, aku membelikan istriku satu buah apel merah saja. Tidak sekilo, tidak seplastik, satu saja.sumber: ruangmuslimah