ARUS PELEGALAN KEMAKSIATAN
Daftar Isi

Oleh : UqieNai
(Alumni BFW 212)
(Alumni BFW 212)
“Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu tindakan keji dan seburuk-buruk jalan” (TQS. Al Isra’ [17]:32.
Awal September lalu dunia maya dihebohkan dengan adanya pemberitaan dari sebuah Institusi Islam Negeri. Pemberitaan itu bermula karena disertasi mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Jogja, Abdul Aziz yang berjudul Konsep Milk Al Yamin Muhammad Sahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital menuai kontroversi. Publik ramai menyebut pendapat ini sebagai legalisasi perzinahan. Mendalilkan amal, bukan mengamalkan dalil.
Abdul Aziz membuat disertasi dengan merujuk pada pemikiran tokoh liberal asal Suriah, Muhammad Syahrur, berupaya menghalalkan hubungan intim nonmarital (di luar nikah) alias zina. Ironisnya, disertasi nyeleneh itu diberi predikat ‘sangat memuaskan’ oleh para dosen pengujinya. Padahal isinya terang-terangan menyerukan legalisasi dan perlindungan terhadap perzinaan. Menurutnya hubungan seks nonmarital merupakan hak azasi manusia dan dilindungi undang-undang, ada kesamaan hukum antara budak dan partner. Partner yang dimaksud adalah pacar atau selingkuhan.
Di alam sekular-liberal saat ini tidaklah mengherankan jika fenomena nyeleneh, perilaku menyimpang serta pelanggaran norma agama, norma susila terus bergulir. Bukan hanya wacana tapi telah terealisasi di bawah payung hukum yang bernama hak asasi manusia (HAM). Sebut saja komunitas “pelangi” dengan para anggotanya semakin leluasa menularkan aktivitas menjijikkannya. Upaya massif menghancurkan bangsa dan negara melalui generasi muda, terutama generasi Muslim tak dapat dielakkan.
Para pengusung faham sekular-liberal, kebebasan seksual (hurriyatul jinsiyyah) adalah salah satu prinsip hidup yang menurut mereka wajib dipertahankan serta dikampanyekan bersama undang-undang demokrasi. Mereka paham bahwa satu-satunya penghalang atas gagasan kebebasan seksual mereka hanyalah ajaran Islam yang mulia. Karena itu mereka berusaha memelintir ayat al-Qur’an melalui metode penafsiran teks ala filsafat Barat (hermeneutika). Al-Qur’an harus mengikuti realitas terkini, bukan realitas/fakta yang mengikuti Al-Qur’an. Alhasil, akal dan Hawa nafsu manusia dijadikan rujukan atas dasar perkembangan teknologi dan kemajuan modern untuk melegalkan sebuah penyimpangan. Beginilah mirisnya saat hukum manusia di posisikan lebih tinggi dibanding hukum Allah SWT.
Dalam pandangan syariat Islam, zina adalah tindak kejahatan (jarimah). Keharamannya telah disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (tegas), tak ada khilafiyah di dalamnya. Di samping itu zina merupakan dosa besar setelah syirik sebagaimana sabda Rasulullah Saw,
“Tidak ada dosa lebih besar di sisi Allah sesudah syirik kecuali dosa seorang lelaki yang menumpahkan spermanya dalam rahim wanita yang tidak halal bagi dirinya (HR Ibnu Abi ad Dunya).
Menilik fakta yang terjadi di atas, setidaknya ada dua alasan mengapa hubungan intim di luar nikah alias zina coba dilegalkan. Pertama, untuk mencegah kriminalisasi terhadap hubungan intim nonmarital (di luar nikah) konsensual. Menurut mereka Al-Qur’an tidak menjelaskan makna “zina”, secara pasti, oleh karenanya hubungan intim yang dilakukan berdasarkan kesepakatan dan dilakukan di tempat tertutup, seperti samen laven (kumpul kebo/al musakanah) atau di kamar hotel bersama pelacur tidak patut dikatakan perzinahan atau dinyatakan sebagai tindak kejahatan. Kedua, dalam Islam, menurut mereka sebenarnya telah ada payung hukum yang menghalalkan hubungan nonmarital, yakni hubungan intim antara majikan dan budak perempuan (milkul yamin). Dalam konteks kekinian ‘milkul yamin’ bisa diterapkan pada pasangan seksual di luar nikah, semisal teman kencan, pacar, PSK, pasangan kumpul kebo dan siapapun yang dijadikan mitra hubungan seksual asalkan tidak ada unsur paksaan, tak ada penipuan, bukan pasangan orang lain serta dilakukan di tempat tertutup.
Kedua alasan yang diungkapkan pengusung perzinaan, jelas merupakan dusta besar. Pasalnya, syariat islam sedemikian jernih memberikan penjelasan terkait pengertian zina. Al-Qur’an memanglah tidak merinci arti zina, namun para ulama berdasarkan penggaliannya berdasarkan hukum syara’ (al-Qur’an-as-Sunnah) menerangkan makna zina secara detil. Madzhab Syafi’i misalnya, memberikan pengertian zina sebagai berikut :
“Masuknya ujung kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya ke dalam kemaluan wanita yang haram dalam keadaan syahwat yang alami tanpa syubhat (lihat: Hasyiah al-jamal, kitab “Az-Zina”, 21/80, Maktabah Syamillah).
Nabi saw pernah menghukum Maiz bin Malik yang mengaku berzina dengan seorang budak perempuan milik Hazzal. Beliau juga menghukum seorang perempuan bernama al-Ghamidiyah yang juga mengaku berbuat zina. Padahal perbuatan mereka itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan bukan di tempat umum, hingga akhirnya Nabi Saw menjatuhkan sanksi rajam kepada Maiz dan al- Ghamidiyah.
Keharaman zina telah jelas dinyatakan baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Saw. Di antaranya QS. Al-Isra’ [17] ayat 32 sebagaimana dinukil di atas. Kemudian dipertegas dengan adanya had/sanksi bagi pelakunya dalam QS. An-Nur [24]:2.
Adapun pandangan bahwa status milkul yamin dalam konteks kekinian terwujud sebagai mitra hubungan seksual adalah penipuan yang amat kotor. Fakta milkul yamin yang shahih menurut fuqaha bukanlah demikian. Milkul yamin adalah hamba sahaya yang dikuasai majikannya dan berada dalam tanggung jawabnya sehingga wajib untuk dijaga dan dinafkahi layaknya keluarga, berdasarkan sabda Rasulullah Saw :
“Hamba sahaya memiliki hak atas makanan dan pakaiannya secara ma’ruf serta tidak dibebani dengan pekerjaan yang tak sanggup dia kerjakan” (HR al-Baihaqi).
Dengan demikian milkul yamin bukanlah pasangan kumpul kebo apalagi disamakan dengan pelacur sebagaimana
tafsir hermeneutika yang di adopsi Muhammad Syahrur dan Abdul Aziz dalam memaknai milkul yamin. Tindakan semacam ini merupakan perbuatan yang akan mendapat ancaman mengerikan seperti hadits Rasulullah berikut :
“Siapa saja yang berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka (HR at-Tirmidzi).
“Siapa saja yang berkata tentang Al-Qur-an sebatas dengan akalnya, lalu kebetulan benar, maka ia tetap salah” (HR Abu Dawud).
Sudah saatnya kaum Muslim khususnya dan masyarakat umumnya bersegera mengembalikan tatanan kehidupan berdasarkan aturan shahih, mengembalikan akidah umat kepada akidah Islam dalam sebuah Institusi Islam yaitu Dawlah Khilafah Islamiyyah. Hanya Institusi Islam-lah yang dapat menjadikan pemimpinnya sebagai junnah atas permasalahan yang dihadapan umat. Inilah satu-satunya solusi menangkis serangan pemikiran yang datang dari faham sekular-liberal beserta pengembannya.
Wallahu a’lam bi ash Shawab.
*Artikel ini adalah kiriman pembaca Konten Islam. Kirim tulisan Anda lewat imel ke: [email protected]. Sertakan biodata singkat. Isi dari Artikel di luar tanggung jawab redaksi Konten Islam.