Saat 18 Dokter RI Wafat Akibat Corona: Minimnya APD hingga Ditolak RS
Daftar Isi
KONTENISLAM.COM - Hingga hari Minggu (5/4/2020), Ikatan Dokter Indonesia ( IDI) telah mengonfirmasi 18 dokter yang menjadi anggotanya gugur selama Pandemi Covid-19.
Pihak IDI belum mengetahui faktor utama yang menjadi penyebab banyaknya tenaga medis meninggal selama menangani pasien virus corona.
Namun, IDI tidak menampik di lapangan dokter dan tenaga medis banyak mengalami tantangan dan hambatan, salah satunya minimnya Alat Perlindungan Diri ( APD) yang sesuai dengan standar.
Hal itu disampaikan oleh Humas PB IDI dr. Halik Malik saat dihubungi, Minggu (5/4/2020).
"PB IDI bisa saja mengumpulkan data terkait faktor risiko sejawat yang meninggal, tugas utamanya, terpapar kira-kira saat kapan, di ruang apa, adakah faktor APD yang tidak standard, atau virulensi yang memang tinggi di wilayahnya, atau manajemen RS yang rendah terhadap PPI, dan lain-lain yang bisa menjadi faktor," ujar Halik.
Namun hal itu menurut Halik sulit untuk dilakukan sebab minimnya data awal yang dipublikasikan secara terang oleh pihak-pihak terkait.
Pemerintah transparan
Untuk itu, IDI meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan untuk lebih transparan mengenai pasien, khususnya mereka tenaga medis yang sudah dinyatakan positif maupun PDP Covid-19.
Data tersebut penting diperlukan untuk bisa melacak dugaan penularan virus dan memonitor siapa saja yang sudah terpapar.
"Semestinya Kemenkes atau Dinkes setempat bisa mengumumkan tenaga medis yang meninggal. Tidak harus menunggu penderita sendiri atau keluarganya yang menyampaikan. Informasi tentang siapa saja yang tertular, penting untuk memutus mata rantai penularan," jelas Halik.
Halik menyebut, apabila Pemerintah bisa memberikan data awal yang dibutuhkan, IDI akan membantu mendorong strategi pencegahan Covid-19 di kalangan pelayan kesehatan.
"Jika pemerintah bisa berikan datanya, kami akan membantu untuk mendorong strategi pencegahannya," sebut Halik.
Pelatihan penanganan Covid-19
Sementara belum adanya data yang dimiliki, IDI telah melakukan sejumlah langkah untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa dari kelompok tenaga kesehatan. Salah satunya dengan memberikan imbauan dan pelatihan penanganan Covid-19 kepada para dokter.
Selain itu, IDI juga memberikan bantuan APD pada rekan-rekan yang kesulitan mendapatkannya, melalui donasi IDI Peduli.
Hal itu menyadari ada banyak pihak di luar pemerintahan yang bergerak turut memberikan bantuan APD kepada tenaga medis, IDI mengaku sangat berterima kasih.
"Kami berterima kasih kepada masyarakat yang sudah berinisiatif menggalang bantuan APD, lembaga kemanusiaan, UMKM, dan berbagai solidaritas yang muncul untuk mengantisipasi makin bertambahnya korban dalam penanganan Pandemi Covid-19 ini," ucap Halik.
Pihaknya meminta pihak-pihak berwenang untuk menjadikan kematian para petugas medis sebagai alarm agar ada tindakan konkret yang dilakukan untuk mencegah agar tidak ada lagi kasus meninggal pada tenaga kesehatan.
"Satu per satu tenaga medis yang tumbang selama pandemi Covid-19 di Indonesia, menjadi alarm bagi organisasi profesi dan Pemerintah agar dilakukan penelusuran lebih jauh terkait faktor risiko dan penyebabnya sehingga bisa diambil langkah antisipatif dan langkah nyata penguatan sistem layanan kesehatan yang ada di Indonesia," tegasnya.
IDI sangat prihatin melihat satu per satu pelayan kesehatan tumbang akibat penyakit ini dan belum melihat adanya upaya serius untuk melindungi mereka.
"Sejauh ini kami sangat prihatin dan menyesalkan jika tenaga medis yang menjadi benteng pelayanan ini tumbang satu per satu tanpa ada upaya serius untuk melindungi mereka," kata Halik.
Perlu layanan jemput pasien
Epidemiolog Indonesia, kandidat doktor dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, mengatakan, agar para medis yang menangani pasien virus corona lebih terlindungi, harus ada aturan yang lebih ketat agar orang dengan gejala corona tidak langsung datang ke rumah sakit.
Menurut dia, harus ada layanan telepon dan kepastian jemputan dengan ambulans dengan petugas yang dilengkapi APD layak untuk menjemput pasien di rumahnya.
”Jika orang dengan gejala korona masih datang sendiri ke rumah sakit, kemungkinan untuk menularkan ke orang lain ataupun ke medis sangat besar,” katanya seperti dikutip dari Harian Kompas (4/4/2020).
Menurut Dicky, jika tidak memutus siklus penularan virus corona ini, kapasitas rumah sakit tidak akan mampu menampung pasien.
”Dengan tren saat ini, seluruh rumah sakit di Jakarta sudah tidak mampu lagi menampung pasien corona pada pertengahan April 2020 ini,” paparnya.
Dokter ditolak rumah sakit
Tri Maharini, dokter spesialis emergensi, pengurus Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia menceritakan sejawatnya yang meninggal karena virus corona. Mirisnya, sebelum meninggal dokter tersebut sempat ditolak sejumlah rumah sakit.
”Dokter Bayu (Bartholomeus Bayu Satrio Kukuh Wibowo) meninggal pada 26 Maret 2020 setelah ditolak di sejumlah rumah sakit rujukan,” kata Tri dikutip dari Harian Kompas (4/4/2020).
Disebutkan, Bayu mulai mengeluh demam pada 18 Maret 2020 saat dia bertugas di Klinik 24 Jam di Bekasi, tempatnya biasa bertugas. Bayu kemudian diperiksa di RS Citra Harapan Indah, Bekasi, dan dari hasil rontgen dia diduga corona.
Awalnya, anggota IDI Jakarta Barat itu mengisolasi mandiri, tetapi karena sakitnya semakin parah, dia kemudian dibawa ke RS Persahabatan, RS Sulianti Saroso, dan RSPAD Gatot Soebroto, tetapi ditolak karena penuh.
Saat mendatangi Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, ternyata di tempat itu tidak tersedia ventilator.
”Akhirnya dia dibawa kembali ke RSUD Bekasi, tetapi akhirnya meninggal dunia. Jadi, dokter juga ditolak di rumah sakit rujukan karena kapasitas terbatas. Ini tragedi,” kata Tri.
Berikut ini adalah daftar dokter yang telah meninggal akibat Covid-19: 1. Prof Dr. dr. Iwan Dwi Prahasto (Guru Besar FK UGM)
2. Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna (Guru Besar FKM UI)
3. dr. Bartholomeus Bayu Satrio (IDI Jakarta Barat)
4. dr. Exsenveny Lalopua, M.Kes (Dinkes Kota Bandung)
5. dr. Hadio Ali K, Sp.S (Perdossi DKI Jakarta, IDI Jakarta Selatan)
6. dr. Djoko Judodjoko, Sp.B (IDI Bogor)
7. dr. Adi Mirsa Putra, Sp.THT-KL (IDI Bekasi)
8. dr. Laurentius Panggabean, Sp.KJ (RSJ dr. Soeharto Herdjan, IDI Jakarta Timur)
9. dr. Ucok Martin Sp. P (Dosen FK USU, IDI Medan)
10. dr. Efrizal Syamsudin, MM (RSUD Prabumulih, Sumatera Selatan, IDI Cabang Prabumulih)
11. dr. Ratih Purwarini, MSi (IDI Jakarta Timur)
12. Laksma (Purn) dr. Jeanne PMR Winaktu, SpBS (IDI Jakarta Pusat)
13. Prof. Dr. dr. Nasrin Kodim, MPH (Guru Besar Epidemiologi FKM UI)
14. Dr. Bernadetta Tuwsnakotta Sp THT (IDI Makassar)
15. Dr. dr. Lukman Shebubakar SpOT (K) (IDI Jakarta Selatan)
16. dr. Ketty Herawati Sultana (IDI Tangerang Selatan)
17. Dr. Heru Sutantyo (IDI Jakarta Selatan)
18. Dr. Wahyu Hidayat, Sp.THT-KL (IDI Kabupaten Bekasi). [law-justice/kompas]