NASA: Jakarta Berisiko Tenggelam, Tak Bisa Diselamatkan
KONTENISLAM.COM - Jakarta dan banjir seolah kawan lama. Melihat perkembangannya dari waktu ke waktu, NASA menilai Jakarta sangat berisiko dan rentan tenggelam.
Prediksi itu diungkapkan oleh The National Aeronautics and Space Administration (NASA) pada laman resminya tengah tahun ini. Penyebabnya, kombinasi banyak faktor, perubahan iklim, jumlah penduduk yang terus bertambah, juga eksploitasi air di ibu kota RI itu.
"Dengan meningkatnya suhu global dan pencarian lapisan es, banyak kota pesisir menghadapi risiko banjir yang semakin besar. Itu dikarenakan kenaikan permukaan air laut," tulis NASA.
Rata-rata permukaan laut global naik sebesar 3,3 milimeter per tahun. Sudah begitu, hujan semakin intens dengan atmosfer yang makin memanas.
Itu ditambah dengan penyedotan air tanah tanpa ampun dengan pompa air. Data menunjukkan, sekitar 40 persen luas tanah Jakarta berada di bawah permukaan laut saat ini.
"Pompa air tanah menyebabkan tanah tanah tenggelam atau surut dengan kecepatan tinggi," begitulah keterangan yang dibuat NASA.
Turunnya permukaan tanah Jakarta juga dipercepat oleh urbanisasi, perubahan fungsi lahan, dan pertumbuhan penduduk yang sangat cepat.
Menyempit atau tersumbatnya saluran sungai dan kanal oleh sedimen dan sampah juga turut mempercepat penurunan tanah Jakarta.
Faktor lainnya yang mempercepat tenggelamnya Jakarta adalah reklamasi.
Langganan Banjir Sejak Dulu
NASA menunjukkan data bahwa sejak dulu Jakarta menjadi langganan banjir. Sejak tahun 1990, banjir besar di Jakarta rutin terjadi dalam beberapa tahun.
Bentang alam di dataran rendah dan adanya sungai besar yang boleh dibilang selalu meluap kala banjir, Jakarta menjadi sangat akrab dengan banjir.
Nah, banjir menjadi semakin parah dengan perubahan fungsi area di pinggir sungai. Perubahan itu dicatat NASA lewat citra dari luar angkasa atau lndsat.
Perbandingan landsat Jakarta pada tahun 1990 dan 2020 sangat mencolok. Dari foto itu nampak jelas evolusi Jakarta dalam tempo tiga dekade terakhir.
Dari foto landsat itu, bisa dilihat adanya hilangnya hutan dan vegetasi di sepanjang Sungai Ciliwung dan Cisadane. Area itu beralih menjadi pemukiman.
Setelah tidak ada vegetasi dan hutan setelah menjadi pemukiman, luapan kedua sungai itu pun tidak lagi memiliki area penyerapan. Area itu kemudian justru berkontribusi terhadap limpasan dan banjir bandang.
"Musim hujan pada tahun 2007 membawa banjir yang sangat merusak dengan lebih dari 70 persen kota terendam," NASA membeberkan.
"Dengan populasi di Jakarta meningkat lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2020 menjadikan lebih banyak orang memadati dataran banjir yang berisiko tinggi," begitulah keterangan NASA.
Pembangunan Pemukiman Besar-besaran di Teluk Jakarta
Dari landsat tahun 1990 dan 2019 terlihat munculnya lahan buatan dan pembangunan di perairan Teluk Jakarta. Menurut salah satu analisis data landsat, setidaknya sudah ada 1.185 hektar lahan buatan di sepanjang pantai.
"Sebagian besar lahan itu digunakan untuk pembangunan perumahan kelas atas dan lapangan golf," ujar Dhritiraj Sengupta, peneliti penginderaan jauh di East China Normal University.
Lahan buatan atau reklamasi itu memiliki risiko tinggi. Menurut Sengupta, Jakarta tak bisa menghindar dan melawan kenaikan permukaan laut serta gelombang badai.
"Pulau-pulau buatan seringkali merupakan jenis tanah yang paling cepat turun, karena pasir dan tanahnya mengendap dan menjadi padat seiring waktu," kata Sengupta.
Satelit dan sensor berbasis darat mencatat sebagian Jakarta Utara mengalami penurunan puluhan milimeter per tahun. Di pulau reklamasi baru, angka itu cukup tinggi, hingga 80 milimeter, per tahun.
Foto perbandingan Jakarta tahun 1990 dan 2019 dari udara:
Saat ini, pulau-pulau reklamasi berisi perumahan yang dibangun oleh Pembangunan Terpadu Pesisir Jakarta. Ini adalah upaya yang dilakukan untuk melindungi kota dari banjir dan mendorong pembangunan ekonomi.
Inisiatif utamanya adalah pembangunan tanggul laut raksasa dan 17 pulau buatan baru di sekitar Teluk Jakarta. Meskipun pengerjaan proyek dimulai tahun 2015, berbagai masalah tak terhindarkan dan justru memperlambat konstruksi.
Pemerintah Indonesia telah membahas pemindahan ibukota ke Kalimantan. Langkah ini diharapkan bisa membawa perubahan pada Jakarta yang semakin padat dan terendam.
"Rencana untuk membangun tembok laut besar atau seawall masih ada, tetapi mungkin tidak akan cukup untuk mempertahankan status quo di Jakarta," tulis NASA.[detik]