Tok! Menag Yaqut Cholil Lolos dari Gugatan soal Toa Masjid
Daftar Isi
KONTENISLAM.COM - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak gugatan Alamsyah Hanafiah yang menggugat Yaqut Cholil Qoumas soal Toa masjid.
PN Jakpus menilai perumpamaan yang diucapkan Yaqut Cholil dalam konteks memberikan pemahaman dalam masyarakat plural.
Dalam gugatannya, Alamsyah Hanafiah meminta PN Jakpus menghukum Menteri Yaqut agar memberikan makan anak yatim piatu 1.000 orang atau setara dengan Rp 100 juta. Namun gugatan itu ditolak PN Jakpus.
"Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," demikian bunyi putusan PN Jakpus yang dilansir website-nya, Selasa (2/5/2023).
Duduk sebagai ketua majelis Fahzal Hendri dengan anggota Panji Surono dan Toni Irfan.
"Tidak ditemukan korelasi secara langsung antara suara azan dengan suara anjing dalam tuturan Menteri Agama." Ahli Bahasa Prof Dr Endang Aminudin Aziz, MA PhD
Apa pertimbangan majelis?
Berikut sebagian pertimbangan majelis hakim PN Jakpus itu:
Menimbang, bahwa berdasarkan surat bukti tergugat produk T.4 berupa Keterangan Resmi Kementerian Agama RI yang dibuat dan ditandatangani oleh Plt Kepala Biro Humas, data dan Informasi Kementerian Agama RI tertanggal 23 Februari 2022, menegaskan bahwa Menteri Agama RI (tergugat) sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing, tetapi Menteri Agama sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara.
Dan lebih lanjut terkait pertanyaan wartawan tentang Surat Edaran Menteri Agama No 05 Tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala dalam kunjungan kerjanya di Pekanbaru, Menteri Agama menjelaskan bahwa dalam hidup di tengah-tengah masyarakat yang plural, diperlukan toleransi, maka diperlukan aturan yang dapat dijadikan pedoman bersama agar kehidupan masyarakat tetap harmonis dan hubungan antarkelompok masyarakat tetap terawat dengan baik, termasuk tentang pengaturan kebijakan moral suara apa pun yang bisa membuat orang menjadi tidak nyaman.
Dalam penyelesaian itu, Menteri memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan yang lain.
Maka beliau menyebut kata misal, yang dimaksudkan itu adalah misalkan umat Islam tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakat banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memeliharanya.
Jadi Menteri mencontohkan suara yang terlalu keras, apalagi muncul secara bersamaan, justru menimbulkan kebisingan yang dapat mengganggu masyarakat, karena itu ada pedoman penggunaan pengeras suara.
Menteri Agama tidak melarang masjid dan musala menggunakan pengeras suara pada saat azan karena menjadi bagian dari syiar agama Islam dan Surat Edaran Menteri Agama diterbitkan untuk mengatur terkait volume suara agar maksimal 100 DB (desibel).
Menimbang, bahwa demikian juga berdasarkan surat bukti tergugat produk T.6 berupa komentar dari Ahli Bahasa Kemendikbudristek Prof. Dr. Endang Aminudin Aziz, MA, PHd., setelah melalui penganalisaan tentang 'Kontroversi Pernyataan Menteri Agama' ketika diwawancarai wartawan pada tanggal 23 Pebruari 2022 di Pekanbaru yang terus bergulir di tengah masyarakat.
Dengan menganalisa transkrip pernyataan dari tergugat selaku Menteri Agama RI, kemudian Ahli memberikan pendapat di persidangan perkara ini yang pada pokoknya berpendapat tidak ada maksud langsung yang ditujukan oleh penutur dalam hal ini Menteri Agama, untuk membandingkan antara adzan di satu sisi dengan gonggongan anjing di sisi lain.
Yang beliau sandingkan adalah kebisingan yang harus diatur, apakah itu kebisingan yang terjadi dari adzan ataupun kebisingan yang terjadi dari anjing, atau bahkan kebisingan yang terjadi dari truk pada waktu itu.
Pembandingan yang digunakan adalah pembandingan terkait dengan kebisingan. Tidak ditemukan korelasi secara langsung antara suara adzan dengan suara anjing dalam tuturan Menteri Agama.
Bahwa dalam narasi yang disampaikan oleh Menteri Agama tadi, maksud dari pertuturan itu adalah Menteri Agama ingin menjelaskan bahwa ini ada peraturan yang mengatur tentang tingkat kebisingan yang akan harus keluar dan diperbolehkan untuk suara adzan yaitu 100 desibel. Kalau kita berbicara permukaan, hal yang diatur adalah kebisingan tadi.
Bahwa dalam narasi tersebut tidak ada analogi secara langsung dalam tataran sintaksis, untuk menyamakan antara gonggongan anjing di satu sisi, dengan adzan di sisi lain.
Maksud dari pertuturan Menteri Agama tadi adalah memberikan penjelasan mengenai pengaturan kebisingan suara adzan ;
Menimbang, bahwa demikian juga keterangan Ahli Agama Islam yang diajukan oleh tergugat di persidangan nama Dr. Muchlis M Hanafi, yang memberikan pendapat terhadap pernyataan tergugat selaku Menteri Agama RI ketika di wawancarai wartawan pada tanggal 23 Pebruari 2022 sebagaimana yang dituangkan dalam transkrip dimana Ahli memberikan pendapat pada pokoknya Ahli menjelaskan tentang pernyataan Menteri Agama adalah ada maksud atau tidak hanya Menteri Agama yang mengetahui.
Namun dari pemahaman ahli dari konteks pertanyaannya menurut pendapat ahli tidak ada niat dari Menteri Agama untuk mengejek/memperolok/merendahkan suara adzan atau menyamakan suara adzan dengan suara anjing.
Pernyataan tersebut dilihat dari konteksi jabatan Menteri Agama yang dalam hal ini melaksanakan tugas jabatannya sebagai Menteri Agama dalam melakukan pengaturan toa, mengingat Menteri Agama adalah Menteri dari semua agama yang ada di Indonesia.
Selain itu Menteri Agama merupakan seorang muslim dan berasal dari keluarga ulama sehingga dari konteks seorang muslim Menteri Agama tidak mungkin untuk merendahkan/mengejek agama yang dianutnya ;
"Menteri Agama bertanggungjawab untuk mengatur semua kehidupan umat beragama dan merupakan Menteri untuk semua agama di Indonesia." PN Jakpus
Menimbang, bahwa setelah majelis hakim membaca secara keseluruhan secara utuh dan lengkap transkrip wawancara tergugat dengan para wartawan pada tanggal 23 Pebruari 2022 di Pekanbaru sebagaimana tersebut di atas, ternyata bahwa tergugat pada intinya memberitahukan dan mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pemberlakuan Surat Edaran Menteri Agama RI No. SE 05, Tahun 2022 didalam mengatur alat pengeras suara di masjid dan musholla serta mengingatkan pentingnya toleransi dan saling menghargai antar umat beragama agar terwujudnya keharmonisan hidup didalam masyarakat, dengan memberikan contoh seperti dikutip dalam transkrip pernyataan tergugat sebagai berikut:
"... misalnya ya kita tahu di daerah yang mayoritas muslim, hampir setiap 100 meter 200 meter itu ada musholla masjid, bayangkan kalau kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka semua menyalakan toanya, di atas kayak apa itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya. Kita bayangkan lagi kita ini muslim, saya ini muslim, saya hidup di lingkungan non muslim ya kemudian rumah-rumah ibadah saudara-saudara kita non-muslim itu bunyikan toa sehari lima kali dengan kenceng secara bersamaan itu rasanya bagaimana.
Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini kalau kita hidup dalam satu Kompleks itu misalnya kiri-kanan depan-belakang peliharaan anjing semua misalnya menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ni terganggu enggak.
Artinya apa bahwa suara suara Iya suara suara ini apapun suara itu ya Ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan, speaker di musholla di masjid monggo dipakai, silahkan dipakai, tetapi tolong diatur, agar tidak ada yang merasa terganggu, agar niat menggunakan toa, menggunakan speaker sebagai sarana, sebagai wasilah untuk syiar, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama dengan keyakinan kita, berbeda keyakinan kita harus tetap hargai, itu saja intinya. Saya kira dukungan juga banyak atas ini karena di bawah alam bawah sadar kita kan pasti mengakui nih, kawan-kawan wartawan ini kan juga pasti merasakan itu, bagaimana kalau suara itu tidak diatur, pasti mengganggu, truk itu kalau banyak di sekitar kita, kita diam di satu tempat, kemudian misalnya ada truk kiri kanan depan belakang kita, mereka nyalakan mesin sama-sama, kita pasti terganggu, suara-suara yang tidak diatur itu pasti akan menjadi gangguan untuk kita, gitu ya".
Menimbang, bahwa berdasarkan transkrip wawancara tergugat sebagaimana dalam kutipan di atas, tidak terdapat adanya indikasi tergugat selaku Menteri Agama RI untuk melecehkan, menghina, atau memperolok- olokkan suara azhan yang disamakan dengan anjing menggonggong, sebagaimana yang didalilkan oleh para penggugat dalam gugatannya.
Yang terjadi adalah membuat contoh antagonis yang sebaliknya yaitu jika seorang muslim hidup di tengah-tengah mayoritas penganut agama lain, dan semuanya memelihara anjing, kemudian sama-sama menggonggong, dan menimbulkan kebisingan, bagaimana rasanya apakah tidak mengganggu ketentraman bagi yang lain.
Menimbang, bahwa majelis hakim menilai bahwa contoh/ misalkan yang dilontarkan oleh tergugat sebagai seorang Menteri Agama tersebut yakni dalam konteks memberikan pemahaman bagaimana pentingnya hidup pada masyarakat pluralisme yang terdiri dari berbagai Agama serta keyakinan, sehingga perlu melakukan pengaturan terhadap pemakaian alat pengeras suara di tempat-tempat ibadah seperti masjid dan musholla dengan tujuan untuk terciptanya harmonisasi hidup dalam lingkungan hidup antar umat beragama.
Oleh karena sebagai seorang Menteri Agama bertanggungjawab untuk mengatur semua kehidupan Umat beragama dan merupakan Menteri untuk semua agama di Indonesia.
Sumber: DETIK