Pakar Hukum Soal Opsi Pemakzulan Jokowi, Begini Regulasi dan Syarat Impeachment
Daftar Isi
[KONTENISLAM.COM] Istilah pemakzulan atau impeachment menguar sejak pengujung Oktober lalu setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi dinilai condong sebelah berupaya memenangkan pasangan tertentu dalam pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Politikus PKS Mardani Ali Sera, pihaknya membuka opsi pemakzulan terhadap presiden jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.
“Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi,” kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 31 Oktober 2023.
Lantas apa arti pemakzulan atau impeachment ini dan bagaimana regulasinya di dalam peraturan perundang-undangan?
Arti pemakzulan atau impeachment
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pemakzulan berakar dari kata dasar makzul. Artinya, berhenti memegang jabatan atau turun takhta.
Sedangkan pemakzulan dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan memakzulkan-menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan, meletakkan jabatannya (sendiri) sebagai raja, atau berhenti sebagai raja.
Dilansir dari Balaibahasajateng.kemdikbud.go.id, dalam Bahasa Inggris pemakzulan disebut dengan impeachment.
Kata impeachment ini bersinonim dengan accusation yang berarti pendakwaan. Karenanya, impeachment juga diartikan sebagai sebuah proses di badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara.
Eks Wakil Ketua MK M Laica Marzuki dalam Pemakzulan Presiden/Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 di Jurnal Konstitusi mengungkapkan, di Amerika, impeachment tidak hanya diberlakukan bagi Presiden atau Wakil Presiden.
Tetapi, berdasarkan Article 2, section 4 US Constitution, juga mencakupi pelaku kejahatan terhadap semua warga sipil. Sehingga Laica Marzuki berpendapat, menurut UUD 1945 tidak tepat kiranya menggunakan nomenklatur impeachment bagi pemakzulan Presiden, dan Wakil Presiden.
Pemakzulan diatur dalam undang-undang konstitusi di banyak negara di seluruh dunia, seperti Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina, Irlandia, dan termasuk Indonesia.
Di Tanah Air, regulasi pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden ada dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar atau UUD 1945. Beleid ini menjelaskan bahwa presiden maupun wakil presiden dapat diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adapun syarat seorang presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan yaitu apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
Menurut Laica Marzuki, alasan-alasan pemakzulan dimaksud harus berkonotasi hukum (rechtmatigheid) dan bukan berpaut dengan kebijakan (doelmatigheid). Suatu beleid bukan doelmatigheid manakala merupakan bagian modus operandi dari kejahatan.
“Demikian pula halnya dengan perbuatan tercela. Perbuatan tercela yang dimaksud pasal konstitusi itu harus dipahami pula dalam makna perbuatan tercela menurut hukum, artinya perbuatan tercela tersebut berkaitan dengan aturan-aturan hukum tertulis,” tulis Laica Marzuki.
Seorang Presiden atau Wakil Presiden juga dapat diberhentikan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden.
Dinukil dari studi Pemakzulan Terhadap Presiden dan atau Wakil Presiden Ditinjau dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Jurnal Surya Kencana Satu: Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan, alasan pemakzulan yang didasarkan pada tidak terpenuhinya lagi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden didasarkan pada dua kategori:
Pertama, alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden sebagai mana ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945, yaitu: warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, dan mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, alasan pemakzulan dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Salah satunya ihwal syarat mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Perdebatan sering muncul terkait dengan syarat tersebut. Hal ini karena tidak terdapat ukuran pasti mengenai kapan seseorang dianggap tidak mampu secara jasmani dan rohani.
Regulasi pemakzulan atau impeachment menurut aturan perundangan-undangan
Proses pemakzulan juga harus selalu mematuhi konstitusi sebagai manifestasi dari prinsip negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Menurut UUD 1945, langkah pemakzulan terhadap Presiden atau Wakil Presiden harus dimulai dengan pengajuan dari DPR kepada MPR.
Usul diajukan dengan terlebih dahulu meminta Mahkamah Konstitusi atau MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau tak lagi memenuhi syarat.
Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya dua dari tiga jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah keseluruhan anggota DPR.
MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK.
Apabila MK memutuskan bahwa Presiden atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden kepada MPR.
Kemudian MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Wacana pemakzulan Presiden Jokowi dan tanggapan pakar hukum
Sebelumnya, pada penghujung Oktober lalu Partai Keadilan Sejahtera atau PKS membuka wacana opsi pemakzulan terhadap Jokowi yang diduga terang-terangan menyalahgunakan lembaga negara untuk memenangkan salah satu pasangan dalam pemilihan presiden 2024.
Wacana itu disampaikan politikus PKS Mardani Ali Sera jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 oleh presiden terbukti.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan ide pemakzulan terhadap Presiden Jokowi upaya bagus. Menurut Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, DPR bisa segera menggunakan hak angket dan interpelasi.
Hak itu dimiliki DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
“Peluang pemakzulan sangat layak dilanjutkan. Dengan pengawasan yang sangat serius,” kata Bivitri kepada Tempo saat dihubungi, Kamis, 2 November 2023.
Kendati begitu, upaya pemakzulan ini, menurut Bivitri, ada proses yang diatur dalam UU, terutama bukti yang konkret dan dinyatakan secara terbuka oleh presiden Jokowi sebagai alasan pemakzulan.
Kata Bivitri, DPR bisa menggunakan alasan salah satunya pernyataan presiden Jokowi pada September lalu yang menggunakan lembaga negara, seperti Badan Intelijen Negara untuk memantau partai-partai politik.
“Isunya harus riil, bisa dibuktikan, dan erat kaitannya dengan Jokowi sendiri sebagai presiden,” kata dia.
Sementara itu, Akademisi Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat pemakzulan terhadap Presiden Jokowi telah memenuhi unsur konstitusi.
Feri menyebut presiden secara kasat mata terlibat dalam upaya pemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.
Situasi ini, kata Feri, yang membuat Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 sulit diharapkan berjalan sesuai semangat konstitusi, yaitu Pemilu bersih dan mandiri.
“Seluruh konteks dan unsur-unsur pemakzulan sudah terpenuhi,” kata Feri kepada Tempo saat ditemui di Kawasan Pos Blok, Jakarta Pusat, Sabtu, 18 November 2024.
Menurut Feri, keterlibatan aparat kepolisian, skandal bekas Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar Presiden Jokowi, pemanggilan para menteri, pembiaran kampanye di luar jadwal, dan pemanggilan pejabat daerah sudah bisa menjadi bukti konkret.
Selain itu, tindakan Jokowi yang mengatakan anaknya, Gibran, tidak akan masuk politik, tetapi malah menjadi Wali Kota dan sekarang calon wakil presiden mendampingi Prabowo juga bisa dijadikan bukti.
“Pilihannya keberanian politisi (di parlemen) menegakkan konstitusi dan berhadapan dengan rezim totalitarian Jokowi,” kata Feri.
Sumber: Tempo