Pemilu Indonesia dan Kontroversi Jokowi
Daftar Isi
KONTENISLAM.COM - Dua pemilu nasional terakhir di Indonesia ditandai dengan perang saling menyalahkan di media sosial antara pendukung Presiden Joko Widodo dan saingan utamanya, Prabowo Subianto.
Pendukung Jokowi diejek sebagai cebong, kependekan dari kecebong.
Sementara itu, para pendukungnya mencemooh para pendukung Prabowo sebagai kampret, seekor kelelawar kecil. Kedua moniker tersebut mencemooh IQ pihak lain yang dianggap lebih rendah.
Situasinya berbeda menjelang pemilu 2024 pada 14 Februari. Ketika Jokowi tidak bisa mencalonkan diri, ia dan Prabowo bersatu.
Artinya, sebagian besar komentar yang bersifat polarisasi berfokus pada upaya Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan dengan memasukkan putranya, Gibran, sebagai calon wakil presiden. calon wakil presiden.
Meskipun para pendukungnya percaya bahwa Jokowi telah bersikap netral dan adil dalam menyambut pemilu dan tetap menjalankan agenda kerjanya, ada kekecewaan dan kemarahan yang ditujukan kepada mereka yang melihat pencalonan Gibran sebagai tindakan ilegal dan inkonstitusional, dengan kalimat seperti “merugikan secara hukum” “merugikan secara moral” atau “merugikan secara etis” yang biasa digunakan.
Dalam proyek kami untuk memantau ujaran kebencian dan polarisasi online, kami mengambil sampel dan menganalisis sekitar 42.000 postingan antara bulan September dan Desember 2023 dari X, Facebook, Instagram, dan artikel dari situs web kolaborasi pengecekan fakta menggunakan kata kunci yang dipilih untuk menangkap toksisitas dan identitas.
Kemarahan terhadap Jokowi bisa dianggap sebagai respons wajar atas upayanya mempertahankan kekuasaan, pertama dengan menunda pemilu, lalu memperpanjang masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode, hingga menyatunya basis pendukung Prabowo (Subianto) dengan sendiri dengan nama “Projok”, dan terakhir menunjuk Gibran sebagai calon wakil presiden untuk mengisi kursi eksekutif yang akan dikosongkan oleh Jokowi.
Polarisasi antara pendukung Jokowi dan pendukung anti-Jokowi kerap menimbulkan benturan pendapat dan ketegangan di dunia maya.
Pesan-pesan positif atas prestasi pemerintah dibalas dengan kecaman dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap kontroversial.
Yang paling kontroversial adalah keputusan Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh kakak ipar Jokowi, Anwar Usman, yang memperbolehkan Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres Prabowo.
Pasca putusan tersebut, tagar #MahkamahKeluarga atau “Pengadilan Keluarga” yang merupakan plesetan dari Mahkamah Konstitusi mulai sering bermunculan.
Lainnya adalah #Kamimuak atau “kami muak” yang diungkapkan sebagai respons kemarahan warganet terhadap manuver politik keluarga Jokowi.
Dinamika politik modern, yang menjadikan media sosial sebagai ajang pertarungan opini dan keyakinan politik, diperumit oleh para influencer yang, secara sukarela atau berdasarkan kontrak, menyampaikan pendapatnya mengenai tindakan Jokowi.
Keterlibatan influencer dalam acara pengukuhan Gedung Induk Akademi Militer Magelang pada 2 Februari memperkuat pemisahan kubu pro dan anti Jokowi.
Peristiwa ini memicu pertikaian di media sosial karena Jokowi dan Prabowo menggunakan acara dan fasilitas pemerintah untuk pelantikan, dan sebagian besar postingan influencer hanya menyebutkan “kerendahan hati” dan “kepemimpinan hebat” dari Jokowi dan Prabowo.
Kesalahpahaman polarisasi
Berdasarkan pengamatan kami pasca pemilu 2019, terdapat kesalahpahaman mengenai polarisasi online karena media arus utama hanya berfokus pada analisis jaringan sosial terhadap data X (sebelumnya Twitter) yang menunjukkan dua kelompok besar percakapan.
Namun meskipun percakapan X mengenai isu-isu politik terpolarisasi , hal ini tidak berarti masyarakat itu sendiri juga terpolarisasi.
Ketergantungan yang besar pada analisis jejaring sosial Twitter dalam diskusi publik sejalan dengan tujuan pemerintah Indonesia untuk mengontrol narasi persatuan Indonesia dan obsesi untuk menginternalisasi ideologi negara Pancasila .
Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan pemerintah tentang Pancasila berdasarkan definisi dan penafsiran Pancasila sendiri harus diikuti oleh warga negara.
Dalam kebijakan ini, bahkan gaya busana yang berbeda, seperti mengenakan jilbab panjang bagi perempuan atau menumbuhkan janggut bagi laki-laki Muslim, berpotensi dicap radikal.
Pada setiap siklus pemilu, terdapat peningkatan konsisten dalam ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok minoritas, yang seringkali dipicu oleh misinformasi dan disinformasi.
Lonjakan sikap negatif ini dapat berkontribusi pada semakin dalamnya polarisasi , meningkatnya diskriminasi, dan potensi penganiayaan terhadap komunitas rentan, termasuk kelompok agama dan gender minoritas.
Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan berkolaborasi dengan universitas dalam merancang kerangka pemantauan untuk menganalisis dan menyajikan data secara sistematis pada platform khusus.
Temuan dari upaya pemantauan ini kemudian dapat menjadi peta jalan bagi media untuk menghasilkan konten jurnalistik yang memperjuangkan keberagaman dan mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas.
Data ini dapat membantu mencegah penguatan narasi yang melanggengkan stigma dan diskriminasi, khususnya yang disebarkan oleh faksi politik tertentu.
Dengan menggunakan wawasan yang diperoleh dari pemantauan, media massa dapat mengidentifikasi tren penggunaan ujaran kebencian dan menahan diri untuk tidak memperkuat pesan yang memperkuat stereotip negatif terhadap kelompok minoritas.
Pendekatan pemantauan ini dapat menjadi sumber daya yang berharga tidak hanya bagi media tetapi juga bagi badan pemantau pemilu, dewan pers, platform media sosial, dan pembela hak-hak minoritas.
Dengan cara ini, entitas-entitas ini dapat secara proaktif mengantisipasi dan mengatasi ujaran kebencian, serta memitigasi dampaknya terhadap polarisasi sosial.
Sumber: KoranNTB