Khalid Bin Walid, Sang Legenda Tak Terkalahkan
Daftar Isi
KONTENISLAM.COM - Adalah Khalid bin Walid ra., putra dari salah satu pembesar Quraisy yang paling berkuasa, Walid bin Mughirah, yang berasal dari suku Bani Makhzum.
Sejarah mencatat pasukan muslimin pernah memiliki panglima perang yang tak "terkalahkan".
Bahkan Rasullulah pun pernah merasakan kehebatan strateginya pada perang Uhud.
Lebih dari 100 peperangan dikomandoi olehnya, dan tak satu pun berakhir dengan kekalahan.
Namun siapa yang menyangka, pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra, Khalid dipecat dari jabatan kemiliterannya. Sebuah keputusan yang menimbulkan banyak spekulasi.
Namun peristiwa tersebut menjadi sejarah yang kaya akan hikmah sehingga patut disimak.
Khalid adalah sepupu Umar bin Khatab, hidayah keislaman Khalid datang pada masa perjanjian Hudaibiyyah (628 M). Kepindahan Khalid ke dalam Islam, membawa angin segar bagi pasukan muslimin. Kecerdasannya dalam mengolah siasat perang selalu berbuah kemenangan.
Posisi kepanglimaan Khalid dalam pasukan muslimin pertama kali ia peroleh pada saat Perang Mut’ah melawan Romawi.
Rasulullah mulanya menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai pemimpin pasukan, namun ia berpesan, bila Zaid gugur maka Ja’far bin Abi Thalib yang menggantikannya, dan bila Ja’far gugur maka Abdullah bin Rawahah akan menggantikannya.
Bila ketiga panglima perang tersebut gugur maka panglima perang selanjutnya dipilih oleh pasukan muslimin.
Ketika tiga nama yang ditunjuk Rasulullah tsb akhirnya menjadi syuhada di medan perang. Pada saat itu, Khalid, sang pemuda yang penuh keberanian, yang dipilih kaum muslimin untuk melanjutkan memimpin perang.
Selepas perang tersebut, Khalid bin Walid, diberi gelar oleh Nabi saw SaifuLlah al Maslul (Pedang Allah yang terhunus). Nabi pun mendoakannya, agar senantiasa diberikan kemenangan dalam setiap peperangan.
Adapun Khalid dipecat sebagai panglima perang pasukan muslimin ada dua versi riwayat mengenai pemecatannya.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa utusan Umar menyampaikan surat pemecatan dan berisi juga penunjukkan Abu Ubaidah sebagai panglima tertinggi menggantikan Khalid.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Ubaidah-lah yg mendapat surat pengangkatan dan pemberhentian Khalid selama pengepungan, tetapi ia menunda pengumuman sampai kota itu ditaklukkan.
Saat itu sedang terjadi perang Yarmuk (perang melawan Kekaisaran Romawi di negeri Syam), yang menjadi pembuka penaklukan Suriah dan Palestina oleh kaum muslimin.
Khalid masih mengatur strategi dan belum mengetahui dirinya sudah diturunkan dari jabatan panglima tertinggi. Setelah perang usai barulah Abu Ubaidah menyampaikannya kepada Khalid.
"Mengapa Anda tidak menyampaikan keputusan itu, begitu sampai kepada Anda?” tanya Khalid kepada Abu ‘Ubaidah.
“Saya tidak ingin mengganggu kosentrasi Anda dalam memimpin serangan. Lagi pula, kita bersaudara (sesama Muslim). Apa salahnya, jika saudara dipimpin oleh saudaranya sendiri?”.
Setelah itu, meski sudah sebagai prajurit biasa, Khalid diminta Abu Ubaidah untuk tetap mengomandoi penaklukan, dan diangkat sebagai penasihat perang. Ia kembali membawa kemenangan bagi kaum muslimin dengan berhasilnya strategi penaklukan benteng.
Dengan segala prestasinya itu, membuat kawan dan lawan menaruh hormat setinggi-tingginya kepada Khalid.
Usai penaklukan benteng Damaskus, Umar memecat Khalid untuk kedua kalinya sebagai prajurit perang. Umar meminta Khalid kembali ke Madinah. Khalid meninggalkan pasukan muslimin, melepaskan kiprah kemiliterannya sebagai prajurit, dan kembali menuju ibu kota Madinah, patuh akan perintah Khalifah.
Banyak versi riwayat mengenai alasan pemecatannya.
Saya mencoba menyulam benang-benang sejarah, dengan tidak menutup berbagai pendapat mengenai peristiwa dipecatnya Khalid.
Alasan dendam, hubungan yang kurang harmonis antara Umar dan Khalid dalam beberapa riwayat menjadi spekulasi yang saya gugurkan. Tidak dipakai.
Umar adalah sahabat dekat Rasulullah, yang merupakan cermin ajaran Rasulullah secara langsung. Rasulullah tidak pernah mengajarkan dendam, dan soal perbedaan pendapat memang sudah ada sejak Rasulullah hidup.
Saya memilih pendapat yang menyatakan bahwa alasan sebenarnya Umar memecat Khalid adalah untuk memurnikan aqidah umat (Allah yang memberi kemenangan, bukan Khalid), menyelamatkan Khalid dari rasa sombong, dan menghindari umat dari fitnah pengkultusan.
Umar berkata:
"Saya tidak memecat Khalid bin Walid karena benci atau pengkhianatan tetapi karena semua orang sudah terpesona, saya khawatir orang hanya percaya kepadanya dan hanya akan berkorban untuknya. Maka saya ingin mereka tahu bahwa Allah Maha Pencipta dan supaya mereka tidak menjadi sasaran fitnah.”
Rasulullah pernah mengatakan bahwa kebenaran terletak di lidah Umar, hingga ia dijuluki al faruq (sang pembeda). Umar memang dikenal sebagai khalifah yang berani dan tegas dalam mengambil kebijakan. Namun Umar perlu mencari alasan untuk memecat, keputusan pemecatan yang tanpa alasan kesalahan Khalid akan banyak dipertanyakan orang-orang. Pada saat itu Khalid berada di puncak karir, semua orang memujinya, dan menganggap setiap peperangan yang dipimpim Khalid pasti akan memperoleh kemenangan.
Khalifah Umar sadar bahwa keadaan ini tidak bisa dibiarkan. Umar berpikir jauh ke depan mengenai kemungkinan-kemungkinan pengkultusan Khalid. Umar ingin mengembalikan kemurnian aqidah umat muslimin, bahwa kemenangan kaum muslimin atas izin Allah, bukan karena Khalid yang menjadi panglima. Siapa pun panglima yang memimpin pasukuan muslimin, insya Allah dimenangkan oleh Allah jika dikehendakiNYA.
Untuk mencegah kekhawatirannya terjadi, Umar membuat keputusan untuk memecat Khalid.
Pertama kali Khalid dipecat sebagai panglima perang, padahal saat itu sedang berlangsung penaklukan besar-besaran menghadapi pasukan Romawi. Kedudukannya digantikan oleh Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah tetap memberikan wewenang komando terhadap Khalid lewat pengangkatan sebagai penasihat perang. Meski jabatan panglima sudah tidak melekat pada Khalid yang melanjutkan perang sebagai prajurit biasa, namun penghormatan Abu Ubaidah terhadapnya tidaklah berkurang. Hal ini terjadi karena jam terbang Khalid di medan perang yg telah menempanya dengan banyak pengalaman dalam seni berperang. Kemenangan tetap berpihak pada kaum muslimin yg dipimpin Abu Ubaidah dengan bantuan Khalid sebagai “arsitek” seni perangnya.
Saat prajurit² lain mempertanyakan sikap Khalid yg masih saja mau ikut berperang padahal sudah dipecat sebagai panglima (hal ini terkait harga dirinya atas sikap Umar yg telah memecatnya), Khalid menjawab,
"Saya berjihad karena mengharap ridho Rabbnya (Tuhannya) Umar, bukan karena Umar.”
Suatu kali Khalid pernah menyampaikan bahwa berada di medan perang lebih ia sukai dibanding berada dalam rumahnya. Sungguh potret ksatria sejati! Tetap membela Islam meski tanpa jabatan.
Pemecatan Khalid yang kedua kali sebagai prajurit, terjadi di Qinrisin. Usai pemeriksaan harta yang diberikan kepada penyair. Khalid terbukti tidak bersalah karena ia sudah menjalankan pembagian harta rampasan perang tersebut sesuai prosedur. Khalid dipanggil kembali ke Madinah oleh Khalifah Umar, sesampainya di Madinah, ia mengklarifikasi kembali tentang alasan pemecatannya, seperti yg ditulis dalam sebuah riwayat berikut ini:
“Wahai, Amirul Mukminin. Apakah benar saya dipecat?”, tanya Khalid.
“Ya! Anda saya pecat!”, jawab Umar tegas.
"Baiklah, ya Amirul Mukminin. Saya dengar dan saya taat pada anda. Tapi bolehkah saya tahu alasannya? Apa kesalahan saya sehingga harus dipecat?”, tanya Khalid lagi penasaran.
"Anda sama sekali tidak berbuat kesalahan, sedikit pun!”, jawab Umar.
“Atau mungkin saya kurang ahli dalam hal peperangan?”, tanya Khalid lagi.
“Tidak! Saat ini, anda adalah panglima perang terbaik yg pernah kami miliki!”, jawab Umar.
Khalid bin Walid terdiam, (ia tampak bingung).
Melihat ini, Umar bin Khaththab tersenyum.
“Dengarlah, wahai Khalid!”, ujar Umar.
“Anda adalah seorang jenderal terbaik dan panglima perang terhebat. Banyak sekali pujian yg ditujukan pada anda, entah itu dari pasukan anda sendiri maupun dari kaum muslimin”, lanjut Umar.
“Ingatlah, hai Khalid! Anda itu manusia biasa. Terlalu banyak pujian bisa menimbulkan rasa sombong dalam diri anda. Bukankah Allah tidak menyukai orang² yg sombong?”, sambung Umar bertanya.
Khalid bin Walid tak menjawab. Ia diam seribu bahasa.
“Karena itu maafkan saya, wahai saudaraku! Agar anda tidak terjerumus ke dalam neraka, maka anda saya pecat!”, ujar Umar lagi.
Lagi² Khalid bin Walid terdiam.
"Supaya anda tahu. Jangankan di hadapan Allah yg menguasai Semesta, di hadapan Umar saja anda tidak bisa apa-apa", jelas Umar dengan bijak.
Khalid bin Walid berdiri dan langsung memeluk khalifah Umar bin Khaththab. Ia menangis tersedu.
"Terima kasih, ya Umar! Engkau memang benar² saudaraku!," ujar Khalid di sela tangisannya.
Belum genap empat tahun Khalid meninggalkan arena medan perang, ia meninggal dunia dalam usia 52 tahun di Himsh. Pada saat-saat terakhir hidupnya ia pernah mengungkapkan:
“Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut.”
Menjelang kematiannya Khalid menulis wasiat yg isinya pengangkatan Umar sebagai waasi (ahli waris) nya. Kepercayaan Khalid kepada Umar itu jelas sudah menjadi bukti kuat bahwa hubungan Khalid dan Umar baik-baik saja dan tidak ada dendam mengenai peristiwa pemecatannya.
والله اعلم
(Musa Muhammad)